Rencana SBY Menangkan Pilpres 2019 Seperti Pilpres 2014

(Bagian II)

Lihat: Opsi Cerdas SBY Usung Jokowi – AHY

 

Pemenang pilpres 2014 sesungguhnya adalah SBY. Pernyataan itu dilontarkan akun twitter Triomacan2000 / TM2000Back sesaat setelah KPU mengumumkan hasil akhir perhitungan suara pilpres 2014.

Banyak orang menuding pernyataan TM2000 itu ngaco. Tidak masuk akal. Hanya memancing kontroversi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu semakin banyak fakta terungkap yang membuktikan kebenaran pernyataan TM2000 itu.

Setelah tiga tahun berlalu dari pilpres 2014, sebagian kalangan menilai situasi kondisi bangsa Indonesia pada hari ini hingga menjelang pilpres 2019 mendatang, menempatkan posisi politik SBY sangat menguntungkan, membuka peluang bagi SBY untuk meneruskan suksesi presiden kepada putra sulungnya: Agus Harymurti Yudhoyono atau AHY.

Apa dasar pemikiran sehingga sampai pada kesimpulan tersebut di atas?

Tidak dapat dipungkiri bahwa peluang terbesar untuk menjadi cawapres pendamping Capres Jokowi pada pilpres 2019 adalah AHY.

Hal didasarkan pada realita konstelasi politik nasional sebagai berikut:

Hubungan Presiden Jokowi dengan partai pengusungnya yaitu PDIP dalam kondisi kurang harmonis dan diprediksi akan semakin memburuk pada saat pilpres 2019 mendatang.

Memburuknya hubungan Jokowi dengan PDIP tidak terlepas dari manuver KPK yang secara intens membidik Ketum PDIP Megawati SP melalui penyidik kasus korupsi BLBI, dalam hal ini korupsi pada penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Bank BDNI atas nama Syamsul Nursalim.  Konglomerat pemilik BDNI yang sudah lama buron itu dituduh melakukan korupsi yang merugikan negara Rp37 triliun.

KPK telah menetapkan Syarifuddin Temenggung mantan Kepala BPPN sebagai tersangka korupsi pada BLBI BDNI. Syafruddin adalah orang dekat Megawati yang menjabat Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) pada masa Presiden Megawati SP.

Perkembangan penyidikan korupsi SKL BDNI yang terus disidik KPK mengungkapkan bahwa bukti- bukti baru terkait dugaan keterlibatan Presiden Megawati pada korupsi penerbitan SKL BLBI BDNI atas nama Syamsul Nursalim sudah ditemukan KPK.

Pernyataan KPK kepada media yang mengungkap dugaan keterlibatan Presiden Megawati menyebabkan kemarahan besar PDIP. Mereka menuding KPK tengah melakukan upaya kriminalisasi terhadap Megawati Ketum PDIP, untuk kepentingan politik tertentu yang maksud dan tujuannya untuk manyendera Megawati dan PDIP sebagaimana yang telah terjadi dilakukan KPK terhadap Setya Novanto dan Partai Golkar.

Golkar Dalam Genggaman LBP

Pasca penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi EKTP oleh KPK, diduga telah terjadi kesepakatan atau deal di balik layar antara pihak Istana dalam hal ini LBP dengan Setya Novanto. Kesepakatan haram itu disinyalir terkait ‘penyerahan kekuasaan Setya Novanto selaku ketua umum Partai Golkar kepada LBP sebagai kompensasi dicabutnya status tersangka Setya Novanto melalui putusan praperadilan. Meski secara hukum ketum Golkar itu sudah tidak berstatus tersangka, namun Setnov telah terjerat penyanderaan karena KPK setiap saat dengan mudah dapat menetapkan kembali status tersangka atas Ketua DPR itu berdasarkan bukti baru kasus korupsi EKTP dan atau sejumlah kasus korupsi lain yang disidik KPK.

KPK

“Kami memiliki 200 bukti korupsi. Setya Novanto tidak bisa lari,” gertak Wakil Ketua KPK Saut Sitomorang tak lama setelah Hakim Praperadilan memenangkan gugatan Setnov terhadap KPK. Pernyataan KPK ini jelas hanya gertak sambal belaka. Saut Situmorang adalah orang kepercayaan LBP yang ditempatkan di KPK untuk mengamankan agenda politik LBP, salah satunya menyandera posisi Setya Novanto.

Tak lama setelah Setnov dimenangkan hakim praperadilan, Golkar melakukan perombakan besar-besaran pada personalia DPP Golkar untuk merealisasikan kesepakatan penyerahan kekuasaan Partai Golkar kepada LBP. Melalui pergantian kepengurusan DPP Golkar, LBP secara tidak resmi telah menjadi Ketua Umum Bayangan Partai Golkar. Penunjukan dua mantan Danjen Kopassus orang kepercayaan LBP yaitu Letjen Lodewijk Paulus dan Letjen Eko Wiratmoko sebagai Korbid Kajian Strategis dan Korbid Polhukam DPP Golkar menegaskan hegemoni LBP di Partai Golkar.

Selain kedua jenderal binaan LBP itu, juga terdapat orang kepercayaan LBP seperti mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol Anang Iskandar dan mantan terpidana kasus pembunuhan Nasrudin yakni Sigit Haryo Wibisono sebagai Korwil Jawa Timur DPP Partai Golkar. Tinggal PDIP yang belum berhasil disandera oleh LBP melalui KPK. Apa hubungan keberhasilan LBP menyandera Partai Golkar dan menjepit PDIP terhadap posisi politik SBY ?

Secara kasat mata publik tidak melihat hubungan erat antara keberhasilan manuver LBP dengan peluang AHY menjadi cawapres pendamping Jokowi pada pilpres 2019. Benang merah yang menghubungkan manuver politik LBP dengan skenario opsi pertama SBY menduetkan Jokowi-AHY adalah fakta adanya kesepakatan awal antara SBY dengan LBP dan kelompok jenderal binaan LB Moerdani yang dibuat sebelum Jokowi terpilih sebagai presiden tahun 2014 lalu.

Koalisi Hantu SBY – LBP Dkk

Pada akhir tahun 2012 tak lama setelah Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Presiden SBY melakukan kesepakatan politik dengan kolega dan kelompok jenderal purnawirawan TNI binaan LB Moerdani. Kesepakatan SBY dengan LBP, AMHP, Agum Gumelar, Sutiyoso dkk itu mengenai rencana strategis penguasaan politik dan kepemimpinan nasional RI.

Berdasarkan laporan intelijen terungkap bahwa Presiden SBY menyatakan kesediaan memberikan dukungan dan mengamankan misi para jenderal purnawirawan mendudukan Jokowi sebagai Presiden RI periode 2014-2019 dan mengamankan periode kedua 2019-2024. Di mana pada periode kedua ini Jokowi didamping Wakil Presiden Agus Harymurti Yudhoyono (AHY).

Sebagai bukti pemenuhan kesepakatan tersebut, Presiden SBY pada Januari 2013 mengangkat Mayjen TNI Moeldoko mantan Sespri AM Hendopriono sebagai Wakasad dan segera mempromosikannya menjadi Kasad, selanjutnya menjadi Panglima TNI.

Karir jenderal Moeldoko yang sebelumnya diprediksi tamat paska pencopotannya dari Pangdam Siliwangi, ternyata malah sebaliknya. Melesat tinggi ke puncak pimpinan TNI. Sebagai Panglima TNI misi utama Moeldoko adalah mengamankan agenda politik SBY – LBP, AMHP dkk menjadikan Jokowi sebagai presiden pada pilpres 2014. Terbukti SBY telah menunaikan komitmennya. Adalah logis jika SBY balik menagih komitmen dari LBP, AMHP dkk sebagai balasannya.

Adalah menjadi kewajiban LBP, AMHP dkk untuk mengamankan agenda politik SBY yang juga merupakan agenda politik LBP dkk yakni memastikan AHY terpilih sebagai Wakil Presiden RI 2019-2024, mendorong AHY sebagai Presiden RI 2024-2029 dan Presiden RI 2029-2034.

Untuk mewujudkan rencana strategis SBY tersebut, koalisi dengan para jenderal purnawirawan binaan LB Moerdani adalah suatu keharusan dan telah dilakukan SBY sejak akhir 2012 lalu. Sebelum koalisi dan kesepakatan strategis itu dipastikan terwujud, SBY sudah sejak 2007 ikut memantau dan terlibat dalam persiapan mengkader Jokowi sebagai bakal calon presiden 2014.

Peran SBY Sejak 2007

Keterlibatan SBY terungkap melalui penempatan Letjen Agus Widjojo salah satu orang terdekat SBY sebagai komisaris di PT Rakabumi Sejahtera, perusahaan patungan kuasi LBP dan Jokowi yang didirikan pada tahun 2007. Perusahaan ini sebagai penampung dan penyalur uang untuk biaya operasional pencitraan dan kampanye Jokowi di Surakarta dalam rangka merebut posisi Gubernur DKi Jakarta pada pilkada 2012.

Tak lama setelah pilkada Jakarta 2012 selesai, PT Rakabumi Sejahtera lenyap ditelan bumi. Seluruh kantor, gudang berikut pabrik dan segala isinya musnah ludes akibat peristiwa kebakaran yang terjadi sebanyak tiga kali hanya dalam waktu dua bulan. Semua jejak keterlibatan SBY – LBP dkk dalam operasi kegiatan persiapan Jokowi menjadi Presiden RI dilenyapkan seketika.

Mutasi dan promosi lebih dua ratus jenderal dan kolonel di lingkungan TNI dilakukan Presiden SBY hanya dalam waktu enam bulan menjelang masa jabatan presiden berakhir. Pengangkatan Jenderal Gatot sebagai Kasad oleh Presiden SBY dan selanjutnya ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI, menegaskan koalisi SBY – LBP dkk terus berjalan dan semakin solid.

SBY sebelum pensiun sebagai presiden menunjuk Mayjen TNI Andika Perkasa menantu Jend Purn AM Hendropriono sebagai Dan Paspampres untuk mengamankan dan melindungi keselamatan pribadi Presiden Jokowi dan keluarganya.

Sebagai mana diuraikan sebelumnya, koalisi SBY dengan Jokowi diwujudkan secara samar melalui penempatan orang-orang kepercayaan SBY di kabinet dan pemerintahan Jokowi, antara lain: Letjen TNI Purn Agus Widjojo (Gubernur Lemhanas), Sri Mulyani (Menkeu), Agus Martowardoyo (Gubernur BI), Lukman H Saefuddin (Menteri Agama) dll.

Di luar itu SBY tanpa diketahui publik rutin menjalin komunikasi intens dengan Presiden Jokowi. Hampir setiap bulan Jokowi dan SBY melakukan komunikasi membahas isu dan permasalahan pemerintahan Jokowi.

Apakah pernikahan Kahiyang putri Jokowi dengan Erwin Nasution pada 8 November 2018 mendatang juga merupakan bagian dari koalisi SBY – Jokowi?

Bagaimana kelanjutan operasi intelijen yang dilakukan koalisi hantu SBY – LBP, AMHP dkk untuk mewujudkan kemenangan Jokowi – AHY pada pilpres 2019 dan memuluskan AHY sebagai Presiden RI 2024 ?

(Bersambung)

 

Korupsi Ahok Di Sumber Waras Menimbulkan Luka Tionghoa

IMG_20171010_142737

Pada awal Mei 2013, Veronica Tan istri AHOK dilantik menjadi Ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI Jakarta. Sejak saat itu, Veronica Tan dengan senyum khasnya yang menawan sering mengungkapkan mimpinya agar Jakarta memiliki rumah sakit khusus kanker sendiri. Tentunya sebuah mimpi yang sangat mulia. Meskipun di Jakarta sudah ada 5 rumah sakit yang mampu menangani pasien kanker, tapi menurut Veronica Tan, Jakarta tetap membutuhkan rumah sakit khusus kanker untuk mengurangi beban kelima rumah sakit yang sudah ada. Dan betapa bahagianya Veronica Tan, ketika mengetahui bahwa AHOK, sang suami tercinta ingin segera mewujudkan mimpinya tersebut dengan membeli lahan Sumber Waras. Tak tanggung-tanggung demi membahagiakan istri tercinta, Ahok bahkan berani melakukan pertemuan secara langsung dengan pemilik lahan Sumber Waras untuk negosiasi.

Menurut Veronica Tan, pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta memang khusus dipersembahkan oleh AHOK untuk membangun rumah sakit khusus kanker yang akan dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta. Disposisi AHOk untuk mengganggarkan pembelian lahan Sumber Waras Pernyataan Veronica Tan tersebut terekam dengan sangat jelas dan terang benderang di Kompas.com pada Selasa, 20 Januari 2015 dengan judul berita “Veronica Ahok Ingin Pemprov DKI Bangun RSUD Khusus Kanker”.

 

Dalam artikelnya, Kompas menyampaikan bahwa menurut Veronica AHOK sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta memiliki RSUD khusus untuk melayani warga Jakarta yang terkena penyakit kanker. Bahkan yang sangat luar biasa, Veronica AHOK mampu mengetahui secara detail rencana pembangunan rumah sakit kanker oleh Pemprov DKI Jakarta lengkap dengan besaran anggarannya.

image

“RSUD khusus kanker ditargetkan dapat dioperasikan pada tahun 2017 mendatang. Sambil menunggu pembangunan fisik dimulai, kita akan membangun sumber daya manusia dulu,” kata Veronica dalam acara penandatanganan nota kesepakatan (MOU) mengenai perawatan paliatif kanker antara YKI DKI Jakarta bersama Singapore International Foundation (SIF) dan Rachel House Foundation, di Balai Kota, Jakarta, Selasa (20/1/2015).

Lebih lanjut, Veronika juga mengungkapkan bahwa RSUD khusus kanker tersebut akan dibangun diatas lahan seluas 3,7 hektare yang terletak tepat di sebelah RS Sumber Waras. Lahan tersebut telah dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta seharga Rp750 miliar dengan anggaran tahun lalu (APBD 2014/pen) (Kontan.com, Selasa 20/1/2015). Sayangnya, ketika mimpi Veronika AHOK untuk membangun RSUD khusus kanker hampir diwujudkan oleh suami tercintanya, BPK justru “menghadangnya”. Dalam laporan hasil audit yang disampaikan di DPRD DKI Jakarta dengan sangat jelas disebutkan bahwa pembelian lahan Sumber Waras diindikasikan merugikan keuangan daerah sebesar Rp 191,334 miliar. Menurut BPK, pembelian lahan Sumber Waras harus dibatalkan karena sarat dengan permasalahan dan terindikasi merugikan negara.

Temuan BPK terkait lahan Sumber Waras membuat AHOK meradang. Jika pada tahun sebelumnya AHOK memuji kinerja BPK yang telah memberikan raport merah pada keuangan Pemprov DKI dan menyebutnya sebagai kado ultah yang spesial, kini dengan raport yang sama-sama merah AHOK tak kuasa lagi menebar amarah dan ancaman. AHOK menuding ada “kongkalikong” antara DPRD dan BPK. AHOK juga menuduh, BPK menggunakan standar ganda dalam melakukan auditnya. AHOK tetap ngotot pada keputusannya untuk membeli lahan Sumber Waras karena sudah sesuai dengan harga NJOP.

 

image

Kepala Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK R. Yudi Ramdan Budiman (Sumber CNN Indonesia) Yudi Ramdan, selaku Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK dengan tegas mengatakan bahwa BPK tidak hanya menyoroti harga tanah dan nilai jual obyek pajak, tapi masalah prosesnya. Menurut Yudi, Rabu 8 Juli 2015, ada banyak faktor menyebabkan pembelian (pengadaan) lahan Sumber Waras dinilai bermasalah oleh BPK di antaranya:

Pertama, Proses pengadaan tanah Sumber Waras cacat prosedural karena tidak diusulkan oleh SKPD melainkan atas inisiatif dan negosiasi langsung antara pemilik tanah dengan AHOK yang saat itu menjabat pelaksana tugas (plt) Gubernur DKI Jakarta.

Kedua, Disposisi AHOK yang memerintahkan Kepala Bappeda untuk menganggarkan pembelian tanah Sumber Waras menggunakan APBD-P  telah melanggar UU Nomor 19/2012, Perpres Nomor 71/2012 dan Peraturan Mendagri Nomor 13/2006.

Ketiga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak melakukan studi kelayakan dan kajian teknis dalam penentuan lokasi.

Terbukti tanah yang dibeli tidak memiliki akses untuk masuk, tidak siap bangun, langganan banjir dan bukan berada di Jl. Kiai Tapa melainkan di Jl. Tomang Jakarta Barat.

Keempat, Pembelian oleh Ahok di mana objek tanah masih terikat perjanjian jual-beli antara PT Ciputra Karya Uunggul (CKU) dengan Sumber Waras dimana PT CKU telah menyerahkan uang muka senilai R 50 milyar kepada Sumber Waras.

BPK menemukan fakta bahwa harga yang dibeli oleh PT CKU jauh lebih murah yaitu Rp 15,5 juta per m2. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta membeli dengan harga Rp. 20.755.000 per m2.

Kelima, Pihak Sumber Waras menyerahkan akta pelepasan hak pembayaran sebelum melunasi tunggakan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Keenam, ditemukan kerugian keuangan sebesar Rp. 191.334.550.000 (dari selisih harga beli antara Pemprov DKI dengan PT CKU) atau Rp. 484.617.100.000 (dari selisih harga beli dengan nilai aset setelah dibeli karena perbedaan NJOP).

Saat beli dari pihak Sumber Waras, Pemprov DKI menggunakan NJOP di Jl. Kiai Tapa dengan harga Rp. 20.755.000 per m2, padahal fakta lokasi tanah berada di Jl Tomang Utara yang harga NJOP-nya hanya Rp Rp 7,44 juta per m2.

Setelah banyak menerima laporan dari masyarakat, KPK telah meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Tujuannya untuk menemukan inisiator sekaligus pihak-pihak yang harus bertanggungjawab terkait timbulnya kerugian keuangan daerah dan menemukan ada tidaknya tindak pidana korupsi.

Sumber di BPK menyatakan bahwa audit investigasi terkait Sumber Waras sudah selesai dan hasilnya diserahkan ke KPK untuk ditindaklanjuti,

Rakyat Indonesia bersama-sama telah mendengar keterangan dan penjelasan KPK mengenai dugaan korupsi Ahok pada pengadaan lahan Sumber Waras.

KPK sudah mengakui terjadinya kerugian negara akibat perbuatan Ahok. KPK juga sudah mempunya dua atau lebih alat bukti korupsi Ahok, namun KPK berpendapat bahwa penyidikan korupsi Ahok masih dikembangkan. Sampai saat ini KPK tidak menetapkan Ahok sebagai tersangka korupsi Sumber Waras dengan alasan belum ditemukan niat jahat Ahok pada korupsi itu.

KPK secara penuh kesadaran telah memproklamirkan fungsi utamanya sebagai Lembaga Pelindung Korupsi Ahok.

 

Korban Lain di Sumber Waras

Antara AHOK, Veronika dan Kartini Muljadi di balik kegaduhan korupsi demi mewujudkan mimpi Veronica Tan membangun rumah sakit khusus kanker di lahan eks Sumber Waras, ternyata masih ada korban lain yang luput dari perhatian publik.

Perhimpunan Sosial Candra Naya (PSCN) yang aslinya bernama Sin Ming Hui “dipaksa” masuk dalam pusaran “kegaduhan” oleh konglomerat Kartini Muljadi. Sin Ming Hui berdiri pertamakali tahun 1946 dengan anggota 9 orang Tionghoa yang bekerja di harian Sin Po dan Keng Po. Pendirian Sin Ming Hui dilandasi cita-cita luhur para anggotanya untuk mengabdi kepada Indonesia di bidang sosial kemasyarakatan dengan menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat. Cita-cita Sin Ming Hui akhirnya akhirnya terwujud dengan berdirinya Rumah Sakit Sin Ming Hui yang dananya berasal dari sumbangan masyarakat Tionghoa. Saat itu dana masyarakat yang terkumpul mencapai Rp. 1,034,703.07.

RS Sin Ming Hui yang kini berubah nama menjadi RS Sumber Waras dibangun menggunakan dana sumbangan masyarakat Tionghoa. Tanah tersebut dibeli dari Ny. Oey Han Nio seharga Rp 1/m2 dengan total biaya Rp 80,000. Pendiri Sin Ming Hui dapat membeli tanah tersebut dengan sangat murah karena Ny. Oey Han Nio sangat mendukung cita-cita mulia Sin Ming Hui untuk mengabdi kepada masyarakat. Surat tanah tersebut oleh pendiri sengaja dipecah dua, satu dalam bentuk hak milik atas nama Perkumpulan Sin Ming Hui dan satu lagi bentuk HGB atas nama Yayasan Rumah Sakit Sin Ming Hui, dengan maksud agar kelak bila RS menjadi besar, tidak melupakan Perhimpunan Sosial Candra Naya sebagai induknya (Kompasiana, 14-9-2015).

Tanah yang dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta bersertifikat HGB yang akan habis 26 Mei 2018 dan secara fisik lokasinya adalah terletak di Jalan Tomang Utara.

Sedangkan tanah yang terletak di Jalan Kyai Tapa ber-Sertifikat Hak Milik dan sampai sekarang sedang disengketakan di pengadilan antara pihak Perhimpunan Sosial Candra Naya (Sin Ming Hui) yang dipimpin oleh I Wayan Suparmin dengan pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang dipimpin Kartini Muljadi.

Menurut keterangan Ketua PSCN I Wayan Suparmin berdasarkan sejarah tercatat dengan sangat jelas dan terang benderang bahwa berdirinya RS Sin Ming Hui (RS Sumber Waras) adalah merupakan hasil dari sumbangan masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Sin Ming Hui.

Bahkan nama Sumber Waras sendiri merupakan nama yang istimewa, karena berasal dari singkatan “SUMbangan BERasal WARga ASing”. Ironisnya, mengapa kini tanah YKSW dan RS Sumber Waras bisa dikuasai oleh konglomerat Kartini Muljadi.

Ketua Perhimpunan Sosial Candra Naya, I Wayan Suparmin terpaksa harus mendekam di penjara karena dituduh melakukan penggelapan sertifikat milik Perhimpunan Sosial Candra Naya (Sin Ming Hui) oleh Kartini Muljadi.

Aneh tapi nyata dan sungguh ironis, Perhimpunan Sosial Candra Naya yang berdiri di awal kemerdekaan dengan mengusung cita-cita mulia untuk membantu masyarakat yang tertindas,  justru menjadi korban penindasan. Dan lebih tragis lagi karena yang melakukan penindasan adalah dari golongan mereka sendiri yaitu tionghoa yang kebetulan sekarang sedang memegang kekuasaan.

Perjalanan Rahasia Presiden

20171017_150529

Pak Harto dikenal sebagai pemimpin yang selalu memperhatikan keadaan bawahannya bahkan sampai pada hal-hal kecil. Pak Harto selalu dapat bersikap tenang namun penuh perhitungan.

Pak Harto senantiasa mengambil keputusan dengan tegas, cermat, dan bijaksana, serta menyampaikan pada saat yang tepat.

Semua keputusan Pak Harto, baik menyangkut masalah besar maupun kecil, selalu didasarkan pada pertimbangan rasional, akal sehat, hati nurani, dan nilai-nilai keagamaan. Pak Harto selalu berfikir, bertindak, dan bertujuan secara integral-komprehensif, dalam dimensi yang realistis-pragmatis, dalam kerangka konsepsional-strategis. Beliau juga selalu mengemukakan buah pikiran, langkah tindakan, keinginan-keinginannya secara bulat dan utuh berdasarkan wawasan yang luas serta pertimbangan yang matang dan mendalam.

Berburu Tanpa Menembak
Saya berkenalan dengan Pak Harto di masa Operasi Pembebasan Irian Barat tahun 1962. Ketika itu Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk Presiden Soekarno menjadi Panglima Komando Mandala yang berpangkalan di Sulawesi. Suatu malam saya mendapat tugas ikut rombongan Pak Harto berburu di hutan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Saya bertugas membawa lampu sorot, namun saya perhatikan Pak Harto tidak pernah menembak selama berburu, yang menembak hanya para asisten. Cukup lama saya berusaha mencari jawaban mengapa Pak Harto tidak sekalipun menembak.

Pada saat bersamaan, malam itu pasukan TNI tengah diterjunkan di Irian Barat, salah satunya adalah Benny Moerdani. Saya seharusnya diterjunkan tetapi malah mendapat tugas ikut berburu. Setelah direnungkan ternyata berburu di malam hari itu hanya alasan agar kami semua tidak tidur. Rupanya Pak Harto merasa ikut mendampingi pasukannya yang tengah diterjunkan di malam hari yang sama di Irian Barat.

Jadi Pak Harto ikut mendampingi secara batin ketika anggotanya menjalankan tugas mulia. Pak Harto tidak berleha-leha melainkan beliau memikirkan keselamatan anak buahnya yang diterjunkan di kawasan yang masih dikuasai Belanda. Tidak tidur pada malam penerjunan itu merupakan laku prihatin Pak Harto mendampingi perjuangan pasukannya.

Kecenderungan turut berkorban melalui perilaku batiniah yang sering kali dilakukan Pak Harto serta hasil dari perenungan-perenungan beliau, menjadikan Pak Harto seorang ahli strategi ulung yang mampu mengarahkan kecenderungan masa depan secara tepat.
Saya ingat betul pada masa awal pemerintahan Orde Baru,

Pak Harto berulangkali meyakinkan perlunya bangsa ini memprioritaskan penanganan ekonomi. Beberapa tahun kemudian terbukti langkah kebijaksanaan beliau itu sangat tepat. Ketika dunia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, bangsa Indonesia saat itu telah sempat memperbaiki kehidupan perekonomiannya sehingga telah memiliki ketahanan yang cukup untuk menghadapi berbagai ragam tantangan dan ujian.

Diomeli Pejabat Daerah
Sama sekali saya tidak menduga akan dipilih menjadi ajudan Pak Harto pada tahun 1974. Setiap ajudan Presiden harus bisa berfikir dan bertindak cepat, serta menyiapkan segala sesuatu dengan tepat dan cermat. Saya bertugas mendampingi beliau hingga tahun 1978.

Suatu hari Pak Harto ingin melakukan kunjungan incognito. “Siapkan kendaraan, sangat terbatas. Alat radio dan pengamanan seperlunya saja dan tidak perlu memberitahu siapapun,” instruksi Pak Harto. Perjalanan itu berlangsung dua pekan, bersifat rahasia. Bahkan Panglima ABRI pun tidak diberitahu. Hanya kalangan terbatas yang boleh tahu, antara lain Ketua G-I/S Intel Hankam Mayjen TNI Benny Moerdani.

20170924_000122

Bisa dibayangkan seorang presiden akan berkeliling ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat secara rahasia, diam-diam. Saya juga sempat khawatir. Selain itu yang ikut Dan Paspanpres Kolonel Munawar, Komandan Pengawal, satu ajudan, Dokter Mardjono, dan mekanik Pak Biyanto yang mengurus kendaraan.

Pada saat itu Indonesia memasuki Pelita II. Sebagai kepala negara Pak Harto merasa harus turun langsung untuk melihat sendiri bagimana program-program pemerintah dilaksanakan. Dengan begitu situasi di daerah dan desa-desa bisa dilihat apa adanya, sekaligus presiden dapat masukan langsung dari masyarakat.
Kami tidak pernah makan di restoran, menginap di rumah kepala desa, atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistiknya, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri dan kering tempe. Kami benar-benar prihatin saat itu dan saya melihat Pak Harto sangat menikmati perjalanan keluar masuk desa itu.

Serahasia apa pun perjalanan incognito itu ternyata bocor juga lantaran ada warga desa yang mengetahui kemudian menyampaikan kepada aparat setempat. Rombongan pun sempat di curigai, apakah benar Presiden Soeharto berkunjung tanpa pengawalan?

Akhirnya saya harus menjelaskan bahwa benar Pak Harto sedang melakukan perjalanan rahasia. Pada saat rombongan kecil itu tiba di sebuah kabupaten di Jawa Timur, pejabatnya pun geger. Sayalah yang lantas menjadi sasaran omelan mereka yang marah karena merasa tidak diberi kesempatan menyambut presiden sepantasnya. Padahal itu semua atas kemauan Pak Harto.

Ketika ber-incognito di Jawa Tengah, saya menyaksikan Pak Harto sangat hafal lika-liku jalan disana. Maklum beliau banyak berjuang di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, kemudian menjadi Pangdam IV Diponegoro. Waktu itu saya yang mengemudikan mobil. Tiba di suatu persimpangan tanpa bertanya saya jalan terus, ternyata saya salah jalan tetapi Pak Harto tidak marah dan tersenyum saja.

Seluruh hasil perjalanan itu dicatat. Presiden menjadikan hasil kunjungan rahasia itu sebagai masukan. Secara obyektif kemudian diketahui daerah-daerah mana yang telah berhasil dan daerah-daerah mana pula yang masih perlu ditingkatkan. Semua dicek ulang di dalam rapat kabinet. Dengan begitu menteri tidak bisa berbohong. Kalau jelek ya harus bilang jelek, kalau bagus ya bilang bagus karena Pak Harto mengetahuinya.

 
Perjalanan incognito itu berakhir di Istana Cipanas. Semua tentu sudah sangat lelah, namun Pak Harto justru meminta para anak buah yang ikut agar makan terlebih dahulu, padahal biasanya pemimpin yang makan duluan baru anak buah. Itulah good leadership, yang saya warisi dari Pak Harto sebagai komandan pasukan. Beliau mendahulukan anak buah untuk hal-hal yang mendasar seperti soal makan.

SEKEPING PIZZA TERAKHIR
Perhatian Pak Harto terhadap bawahan memang luar biasa. Suatu ketika anak kedua saya yang bernama Taufik Dwi Cahyono yang biasa kami panggil Cheppy terkena letusan petasan di matanya. Akibatnya, Cheppy tidak bisa melihat. Mendengar musibah itu Pak Harto memanggil saya. Diperintahkannya saya untuk membawa Cheppy ke rumah sakit di Boston, USA, dengan biaya pribadi Pak Harto.

Cheppy mendapat mukjizat, matanya dapat melihat kembali. Itulah perhatian besar Pak Harto.
Menjelang akhir hidupnya, saya ingat suatu ketika sedang membacakan Surat Yasin di dekat pembaringan Pak Harto. Tiba-tiba Pak Harto perlahan memanggil saya kemudian mengucapkan, “Pizza.” Saya sempat bingung karena hari sudah malam. Namun, akhirnya pizza permintaan Pak Harto bisa didapatkan. Kami makan pizza bersama dan ternyata itulah kenangan terakhir dengan Pak Harto. Mungkin sebenarnya Pak Harto menyampaikan kata “pisah” —perlahan-lahan— tetapi kami menangkapnya “pizza”.

Penuturan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno sebagaimana dikutip dari Buku “Pak Harto The Untold Stories”, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno pernah menjadi Pangdam Jaya. Sesudah menjabat Panglima ABRI (1988-1992), ia dipercaya menjadi Wakil Presiden (1993-1998). Lahir pada tahun 1935 di Surabaya, Try Sutrisno menjadi salah satu penerima tongkat estafet regenerasi dari angkatan ‘45. Bapak tuju anak ini mengenal Pak Harto sejak tahun 1961, ketika Operasi Pembebasan Irian Barat digelar.