Kisah Munir dan Sebuah Koper

IMG_y31wmk

Pahlawan Pembela Hak Azasi Manusia (HAM) Indonesia itu bernama Munir Said Talib, lebih dikenal dengan Munir saja. Hampir seluruh kalangan pasti kenal tokoh fenomenal bernasib malang ini. Bertubuh sedang, tidak begitu tinggi dibanding rata-rata tinggi orang Indonesia, tetapi prestasi kerja, dedikasi dan pengorbanannya jauh melampaui tokoh aktivis LSM mana pun sepanjang sejarah Indonesia.

Pria yang akrab disapa Cak Munir itu sudah menggeluti aktivitas keberpihakan pada kaum marginal yang terpinggirkan, sejak masih mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Kisah hidup Cak Munir semasa mahasiswa di Malang tak pernah hilang dari ingatan para aktivis yang pernah mengenalnya.

Karir Munir dalam membela keadilan kian intensif begitu ia menjadi penasihat pembela hukum di LBH Surabaya. Siapapun aktivis HAM dan pembela hukum di Surabaya dan sekitarnya bisa dipastikan mengenal Munir di awal dekade ’90-an.

Selain giat membela hak-hak buruh, nelayan dan tani, Munir aktif menulis di berbagai media massa. Ia kerap mengisi diskusi dan seminar membagi pemikiran dan pandangannya yang sangat jernih seputar isu pelanggaran HAM dan perjuangan membela korban pelanggaran HAM.

Sudah bukan rahasia lagi, kegiatan LBH Surabaya serta aktivitas Munir pun selalu dalam pemantauan aparat keamanan. Suatu ketika di tahun 1993, Cak Munir bersama rekan-rekannya di LBH harus menghadapi kecurigaan aparat, lantaran aksi protes para buruh kian meningkat usai kematian aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo.

Pangkal kecurigaan aparat berasal dari diskusi-diskusi yang kerap digelar di kantor LBH  Jalan Kidal, Kota Surabaya. Namun, aparat kesulitan membuktikan kecurigaan tersebut sebagai aktivitas yang melanggar hukum.

 

Keberadaan Tim Lain Di Luar Tim Mawar Kopassus

Aktivitas Cak Munir bertambah saat ditarik bergabung dengan Kantor LBH Jakarta. Munir kian tenggelam dalam aktivitas pergerakan sejak di LBH Jakarta, terlebih setelah peristiwa penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Jakarta pada 27 Juli 1996 dan kasus-kasus pelanggaran HAM terus bermunculan.

Dalam melakukan pembelaan, Cak Munir kerap melakukan penelusuran dan riset. Dari riset ini, banyak fakta baru yang diungkap Cak Munir. Seperti riset lapangan Cak Munir terhadap kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa pada tahun 1998 menjelang Sidang Umum MPR.

Pernyataan Munir yang termuat di Harian Kompas pada 23 Desember 1998 menyebut indikasi keterlibatan aktor-aktor lain dalam penculikan para aktivis tersebut. Lebih jauh Munir berhasil mengungkap otak pelaku atau dalang penculikan terhadap 14 orang di luar sembilan aktivis korban penculikan Tim Mawar Kopassus.

“Ada tim lain atau tim kedua yang menjadi pelaku penculikan dan penghilangan 14 orang selain 9 orang oleh Tim Mawar,” ungkap Munir pada suatu diskusi.

Munir mengikuti secara seksama proses peradilan militer terhadap personil Tim Mawar Kopassus. Dari pengamatannya yang kritis, Munir berpendapat ada upaya untuk melokalisir tanggungjawab kasus penculikan tersebut, dan ada upaya melempar tanggung jawab hilangnya 14 korban lain kepada Tim Mawar yang sama sekali bukan pelaku penculikan kedua. Meski Munir sangat mengutuk tindakan penculikan oleh Tim Mawar terhadap sembilan aktivis, namun Munir tetap dapat berpikir jernih dengan melihat ada tim lain, di luar Tim Mawar yang menjadi pelaku penculikan dan penghilangan 14 orang pada tahun 1998.

Secara gamblang Munir menjelaskan panjang lebar mengenai perbedaan seputar modus operandi, target sasaran, waktu dan periode kejadian dan lain-lain, yang dia temukan pada dua kasus penculikan tersebut.

“Tim Mawar Kopassus menjadikan para aktivis mahasiswa sosialis komunis sebagai target operasi penculikan. Jumlah korban sembilan orang dan semua dikembalikan bebas dalam keadaan hidup. Waktu kejadian penculikan adalah sebulan sebelum SU MPR hingga sebulan setelah SU MPR 1998. Motif penculikan Tim Mawar adalah untuk pengaman selama berlangsung SU MPR 1-11 Maret 1998,” ujar Munir mengungkap hasil penelitiannya.

Munir memaparkan temuan penting tentang operasi penculikan Tim Mawar dan operasi penculikan di luar Tim Mawar. Bertolak belakang dengan Tim Mawar, Tim Kedua ini tidak harus aktivis mahasiswa sebagai sasaran atau target penculikan.

Terbukti ke-14 orang korban penculikan Tim Kedua ini berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Perbedaan latar belakang korban penculikan dan perbedaan pelaku penculikan menyebabkan perbedaan pada perlakuan penculik terhadap korban. Jika kesembilan orang korban penculikan Tim Mawar dibebaskan dalam keadaan hidup, sedangkan keempatbelas orang korban penculikan Tim Kedua sampai hari ini tidak diketahui nasibnya. Diduga kuat semua korban sudah meninggal.

Temuan Munir ini sangat mengejutkan. Walau masih beredar di kalangan terbatas, hasil penelitian Munir dipastikan sampai ke telinga pihak-pihak tertentu yang menjadi pelaku atau otak pelaku penculikan dan penghilangan nyawa 14 orang pada tahun 1998. Kekhawatiran para pihak yang terkait dengan Tim Kedua semakin memuncak mana kala Munir mulai mengungkap motif Tim Kedua melakukan penculikan yang dipastikan Munir sebagai fitnah untuk menjatuhkan Prabowo, Pak Harto, Kopassus dan TNI – AD.

 

Skandal ‘Penghilangan’ Theys

Kasus penghilangan paksa lainnya yang menarik perhatian Munir adalah tewasnya Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001. Theys merupakan sosok yang sangat dihormati di Papua. Ia memerjuangkan hak-hak rakyat Papua. Sebagai ketua organisasi yang disegani, Theys mempunyai jejaring kerja yang bagus pada organisasi lainnya.

Ketika Theys mendadak tewas di Muara Tami, Jayapura, kabar pun cepat menyebar. Munir menepis dugaan Theys dibunuh karena urusan bisnis (Tempo, 18/4/2002). Sebaliknya, Munir justru melihat ada kepentingan lain dibalik penghilangan nyawa Theys. Kelak dikemudian hari, setelah Munir tewas diracun, dalam kesaksian di persidangan kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa bekas Deputi V BIN Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan pada 16 September 2008, istri Munir, Suciwati, menunjukkan proposal tesis (Detik, 16/9/2008). Proposal itu menukil tema sangat sensitif dalam pelaksanaan HAM di Indonesia dan bakal diuji dalam forum akademis di Universitas Utrecht Belanda.

Sebagai aktivis Kontras, Munir tentu mencermati seksama proses pemeriksaan dalam kasus pembunuhan Theys di Papua itu. Sejumlah perwira Kopassus sedang diperiksa Puspom TNI, meski sempat tersendat-sendat, tetapi pemeriksaan jalan terus. Laporan harian The Jakarta Post pada 27 Juli 2002 menyebut sebuah surat dari seorang purnawirawan bernama Agus Zihof kepada Kepala Staf TNI-AD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Agus adalah ayah Kapten Rianaldo, salah seorang perwira terperiksa. Dalam suratnya, Agus menyatakan putranya telah ditekan menantu Kepala BIN saat itu Abdul Makhmud Hendropriyono (AM Hendropriyono), yaitu Mayor Andika Perkasa, agar mengakui pembunuhan terhadap Theys.

The Jakarta Post bahkan menuliskan, Mayor Andika Perkasa mengiming-iming sebuah jabatan kelak kepada Rianaldo di jajaran BIN. Sayangnya, Komandan Puspom TNI Brigjen Hendardji Supandji saat itu menegaskan tidak akan menanyakan kebenaran laporan Agus Zihof itu kepada Andika Perkasa.

Sementara itu, nama Andika Perkasa rupanya juga mencuat ke publik dari pengakuan Muchyar Yara dalam kasus penangkapan teroris Umar Faruq pada 5 Juni 2002 di Masjid Jami’ Bogor (Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal.69-87).

 

Penangkapan Faruq diduga kuat melibatkan operasi CIA di Indonesia. Laporan dari situs Open Society tahun 2013 melansir program penangkapan terduga teroris yang dikomandani CIA pada 2002. Untuk Indonesia, tulis laporan tersebut kembali menyebut keterlibatan Kepala BIN saat itu, AM Hendropriyono dalam program ini.

 

Kiprah Para Jenderal Merah Binaan Moerdani

Abdul Makhmud Hendropriyono menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional dari 9 Agustus 2001 – 8 Desember 2004. Pria yang akrab disapa Hendropriyono itu merupakan putra pasangan Nurrina dan Raden Mas Wahyani Mangkuprabowo. Meskipun Nurrina berasal dari Kalimantan Selatan, tetapi ia bertemu jodoh dengan seorang ningrat dari Yogyakarta, kota kelahiran Hendropriyono. Namun, Hendropriyono justru menjalani pendidikan formal di Kota Jakarta.

Hendropriyono merupakan anak ketiga dari pasangan Nurrina-RM Wahyani Mangkuprabowo. Ada enam saudara kandung dari Hendropriyono, yakni Susetyo Prabowohadi (menikah dengan Endang Suheni, pasangan ini sudah meninggal, Endang meninggal pada 21 Maret 2013), Setioadji, Aryono Setyo Prabowo, Ratna Siti Sundari, Sri Haerulia Priswati dan Djati Nuswanto.

Dalam situs PT Rekayasa Industri (PT Rekind) yang berkantor di Jakarta terdapat nama Aryono Susetyo Prabowo, yang ikut hadir dalam penandatanganan memorandum kesepahaman (MoU) antara PT Rekind dan Iranian Offshore Engineering and Construction Company (IOEC) pada 15 November 2007.

IOEC merupakan perusahaan konstruksi asal Iran. Dan si bungsu Djati Nuswanto kini bergabung dengan Hendropriyono Corporation Indonesia yang berlokasi di Gedung Artha Graha Jakarta.

Dari hasil pernikahannya dengan Endang Sari Hartati, Hendropriyono dikaruniai tiga anak. Mereka adalah Diah Erwiani Hendropriyono, Roni Hendropriyono dan Diaz Hendropriyono.

Si sulung Diah Erwiani kemudian menikah dengan Andika Perkasa, perwira Kopassus yang kini berpangkat Brigjen dan menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD.

Pasangan itu kemudian memperoleh buah hati bernama Wiratama Akbar Perkasa. Belakangan, nama Diaz dan Andika banyak diekspos media massa terkait ramainya pemberitaan seputar pilpres dan isu Babinsa. Panglima TNI Jenderal Moeldoko tampak berseberangan dengan rilis atas nama Brigjen Andika Perkasa dalam situs resmi TNI AD.

Dalam situs tertanggal 8 Juni 2014 itu, Brigjen Andika menulis institusi TNI AD sudah melakukan pengusutan dan menetapkan Koptu Rusfandi dan Kapten Saliman dari Koramil Gambir telah melakukan pelanggaran disiplin.

 

Padahal, ketentuan pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bappilu). Bukan menjadi kewenangan TNI-AD.

Akibatnya, rilis yang diunggah Brigjen Andika dan ditulis ulang sejumlah media massa itu bisa menimbulkan penafsiran, Babinsa memang bersalah serta tak netral. Namun, hanya berselang dua jam setelah rilis itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menggelar jumpa pers dan menyatakan Bappilu telah menegaskan TNI masih netral.

Peneliti Center For Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS) Umar Abduh menyatakan, masih ada hubungan kuat antara Hendropriyono dan Andika Perkasa (rmol.com, 10/6/2014). Namun, ketika diwawancara Gatranews (10/6/2014), Brigjen Andika enggan menanggapi soal hubungannya dengan AM Hendropriyono.

Para aktivis HAM di Indonesia tentu tidak akan pernah lupa pada aktivitas intelijen Hendropriyono sepanjang Orde Baru berkuasa. Khususnya dalam tragedi berdarah Talangsari, Lampung, pada 7 Februari 1989. Ketika itu, Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung.

 

Pembantaian di Talangsari itu tak bisa terliput media massa, karena akses ke lokasi seusai peristiwa sangat sulit. Para insan pers lebih diarahkan sesuai petunjuk Danrem saat itu, yang memberikan informasi sesuai selera penguasa. Keterangan Hendropriyono menjadi satu-satunya informasi tentang peristiwa Talangsari. Peristiwa itu membuat nama Hendropriyono justru melambung, naik pangkat jadi Brigjen dan ia masuk ke lingkungan Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI, menempati posisi sebagai Direktur D (penggalangan).

 

Hubungan Benny Moerdani dengan Hendropriyono tentu sangat akrab. Hal ini terungkap dari memoar politik Jusuf Wanandi berjudul ‘Menyibak Tabir Orde Baru’ (Februari 2014). Sekitar tahun 1993, menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 2-6 Desember 1993, Benny Moerdani diam-diam mendorong Hendropriyono dan Agum Gumelar agar mengawal Megawati supaya terpilih.

 

Baik Hendropriyono maupun Agum Gumelar sebenarnya harus mengikuti jalur komando di bawah Kepala Bais Mayjen Arie Sudewo. Namun entah mengapa, keduanya justru lebih mendengarkan instruksi Benny Moerdani. Brigjen Agum Gumelar yang pernah menjadi ajudan Ali Moertopo berada di Direktorat A (Keamanan Dalam Negeri) Bais, sedangkan pada saat yang sama Hendropriyono berada di Direktorat penggalangan.

 

Kerja tandem dua jenderal intelijen itu pun akhirnya terbukti berhasil mendorong Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI tahun 1993, menggulingkan Soerjadi yang didukung pemerintah. Para aktivis PDI waktu itu tak ada yang berani memprotes penggalangan yang dilakukan dua jenderal ini, termasuk ketika pemerintah kemudian menggelar kongres di Medan pada Juni 1996.

 

Di bawah pemerintahan Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), Hendropriyono kembali ke panggung politik. Ia ditunjuk sebagai kepala BIN. Selama masa pemerintahan Megawati ini, kelompok muslim acap gencar dicap sebagai ‘teroris’ dan ‘radikal’, meski tanpa bukti atau bukti minim. Berbagai sumber menyebutkan hubungan Hendropriyono dengan lembaga-lembaga intelijen Australia dan AS terjalin begitu erat dan dekat. Tukar menukar informasi intelijen berlangsung tanpa diketahui publik, hingga kemudian mencuat berbagai rekayasa penangkapan yang mengikutsertakan elemen-elemen lembaga intelijen asing, seperti CIA.

 

Dalam sebuah acara di Hotel Satelit Surabaya sekitar awal tahun 2004, almarhum Munir sudah mengungkapkan sinyalemennya tentang rekayasa-rekayasa ini, meski ia belum memberikan gambaran utuh tentang hal itu. Sayangnya, Cak Munir sudah tiada, sedangkan publik kini layak bertanya, dimana gerangan isi koper Cak Munir yang berisi dokumen-dokumen untuk bahan penulisan tesis itu? Jawabannya masih harus menunggu keseriusan pemerintah Jokowi menuntaskan masalah pembunuhan Munir yang sudah terkatung-katung tak jelas selama 13 tahun.